Minggu, 24 Februari 2013

Hidupnya |lagi| Pecinan di Jogja




foto by Galink

Pada masa ORDE BARU komunitas Tiong Hoa tidak pernah diberi kebebasan. Kebudayaan China dan segala perayaannya seakan mati suri. Lewat Inpres no 14 Tahun 1967, Soeharto melarang segala bentuk kebudayaan China diperlihatkan di muka umum. Paham monokulturalisme dikembangkan saat itu, ini berakibat wawasan multikulturlisme menjadi sangat rendah pada bangsa ini. Kerusuhan atas nama SARA menjadi tontonan rutin sampai saat ini. Negara pun ikut memegang kuat nilai diskriminasi. Siapapun anda keturunan China akan sulit untuk duduk dalam demokrasi. Karir di bidang militer, kepolisian ataupun birokrat pemerintahan tidaklah mungkin anda pegang jika anda adalah keturunan China. Administrasi Kependudukan pun ikut-ikutan dalam pendiskriminasian ini. SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) pun Wajib anda miliki. Anda yang lahir setelah tahun 1970 tak lagi mengenal perayaan China seperti Imlek, Ceng beng (sembahyang kubur), Cioko (sembahyang rebutan, Cap Go Meh dan lain-lain. Barongsai, Liong dan Wayang Po Te Hi pun hanya cerita dari orang tua belaka.

foto by Galink

Namun di masa kepemimpinan Gus Dur muncullah Keppres no. 6/2000 untuk mencabut Inpres yang sarat diskriminasi itu. Aburrahman Wahid memegang andil "hidupnya kembali" kebudayaan China di Indonesia. Angin segar dupa wangi pun dihela dengan gembira oleh golongan etnik ini. Hari raya Imlek menjadi hari libur nasional, komunitas Tiong Hoa serta merta sangat bahagia merayakan Imlek, Cap Go Meh dan lainnya. Barongsai dan wayang Po te hi pun bisa dinikmati semua orang. Gus Dur layaknya pahlawan bagi mereka. Sifat humanis juga keberanian beliau diperlihatkan secara nyata. Selalu terdengar doa-doa untuk Gus Dur....., setiap hari raya Imlek.

foto by Galink

Saya lahir di tengah kota Joga. Malioboro tepatnya. Nenek dari Ibu saya selalu menyebutnya Pecinan. Saya selalu bertanya pada orang tua saya kalau Malioboro ini sebuah Pecinan kenapa tidak pernah kulihat upacara-upacara yang mereka lakukan seperti yang ku lihat di beberapa China Town di negara lain??? (seperti di film-film maksud saya).... ya, karena saya lahir di tahun 1969 tentunya. Saya banyak teman dari keturunan China, rumah saya pun bersebelahan dengan mereka. Setiap sarapan di usia Balita saya selalu disuapin pekreja rumah tangga kami bersama prt lain yang anak-anaknya keturunan China. Chen chen, Kyan-kyan, Go Pak dan Cu cu adalah teman-teman saya waktu kecil. Saat usia SMP mereka tidak berbicara bahasa China, mereka memang tidak bisa dan harus kursus saat SMA. Saya jadi ingat inilah efek dari Inpres jaman Soeharto.




Saya ikut merasakan perubahan atas Keppres Gusdur. Teman-teman saya mulai suka ria setiap Imlek, saya dapat Kue Ranjang, lontong Cap Go Meh dan yang sangat hebat mulai adanya Pekan Budaya Tiong Hoa pada tahun 2005 di kampung Ketandan. Acaranya sangat meriah, dari bermacam kuliner, pertunjukan seni sampai pengobatan ala China ada di sana. Kampung Ketandan memang mayoritas penduduknya adalah Keturunan China seperti kampung Pajeksan, Gandekan dan beberapa kampung di belakang Malioboro lainnya. Pada Pekan Budaya Tionghoa tahun 2013 ini diresmikanlah gerbang China tepatnya di ujung depan jalan masuk kampung Ketandan. Saya sangat menikmati dan ikut bersuka ria dalam acara ini meskipun selalu jatuh pada musim hujan. Naumun saya selalu berpikir ... kalau yang disebut "pecinan" dulu adalah sepanjang Maloboro, kenapa yang diramaikan hanya wilayah Ketandan? Tetapi bolehlah, ini sudah merupakan suatu perubahan baik, artinya pendidikan kepada masyarakat mengenai kepelbagaian etnis sudah mulai di sini. PBTH Yogya ini sangat antusias di kunjungi masyarakat yang bukan keturunan China bahkan pengisi acara pun kelihatan beragam. Sangat terlihat bahwa Yogyakarta adalah wilayah multikultur dari berbagai macam masyarakat dan budayanya. Saya bangga!


Gong Xi Fat Chai....